Laman

Selasa, 03 Maret 2015

Doa 22 Februari

Teruntuk, bukan ayah bukan papah bukan pipi atau papi tapi BAPAK!!


Doa 22 Februari
            “Kamu kenapa nduk?” Ku balikan badan hingga hanya suara bapak saja yang terdengar. Aku membelakangi lelaki itu, mataku memandang gerak kendaraan yang lalu lalang, sesekali menengadah keatas, was-was supaya air mata tidak jadi menetes. “Nduk?” Sekali lagi. Kini tangan yang sudah keriput dan kalus menyentuh pundak ku, sekujur tubuhku seakan-akan tersengat listrik ribuan volt melewati urat nadiku dan berdesis di aliran darah serta menyentuh area sensitif, hati. Aku sesenggukan. Kini bapak sudah mendapati pipiku basah. Ternyata tingkahlakuku membuat bapak tertawa, sebenarnya dia mengerti perasaan anaknya. Bapak kandung mana yang tidak mempunyai ikatan batin dengan anak sendiri. Namun aku pun mengerti sifat bapak, dia tidak ingin suasana menjadi haru biru. “Bapak..” Aku melirih manja, gelagatku menyuruh bapak menyudahi tingkah lakunya yang terus mentertawakanku, aku memang terkenal cengeng, manja, olehnya.
            Adzan berkumandang, makanan yang sudah kubungkus rapi dibukanya perlahan. Ku dengar ucapan syukur dan doa berbuka puasa lirih keluar dari bibir bapak yang mulai menghitam, sesekali dia terbatuk-batuk, sering aku menaruh cemas, sering pula aku memberi nasehat supaya dia berhenti mengisap asap-asap itu. Namun apa daya, berulang kali ku pergoki diam-diam bapak menikmati tiap batang asap yang dianggapnya nikmat. “Yang masak siapa? Yang masak pasti mbak Lia?” Bapak menghentikan suapan nasi, dan mengunyah yang tersisa di dalam mulut. Aku hanya tersenyum mendapat pujian dari bapak, meski dalam hati berkata yang benar saja Lia  pandai memasak. Memasak nasi pun masih gosong. Tapi ku nikmati saja tiap pujian dari bapak, aku tidak memiliki niatan untuk berbohong, aku hanya ingin selalu baik di matanya, aku hanya ingin dia bangga.
***
            Pagi hari yang berbeda, basakara sudah siap siaga dengan sengatan panasnya. Baru  sekitar pukul enam, tapi aku sudah siap-siap memakai baju merah putih bekas SD yang masih aku mecing-mecing kan dengan badanku yang terlihat bongsor. Hari itu pertamakali dimana status ku berubah menjadi kelas satu SMP. Aku di terima di sebuah Mts ternama di Bantul. Jaraknya tidak terlalu dekat untuk berjalan kaki pagi-pagi sekali. Aku menggenggam tangan kanan bapak, dia menuntunku untuk jalan melewati kubangan air yang baru saja disiram orang. “Pak?” dia menoleh kearahku. Aku memanggil bapak hanya ingin melihat wajahnya yang sudah makin menua, tanpa bermaksud mengajak bapak bicara. “Hehehe gapapa pak. Makin hari bapak makin ganteng.” Dengan begitu detak jantung ku kembali normal dan aku tenang. “Pasti ada maunya muji-muji.” Bapak menyipitkan mata, ekspresi yang selalu sama ketika aku memuji-mujinya.
            Asap kendaraan mengepul, tangan kiri bapak melingkar meraih hidungku, dia tidak ingin asap dan debu yang terbawa dari ban kendaraan masuk mengotori paru-paruku. Dan tangan kanan nya pun meraih hidungnya dan memperlakukan hal serupa. “Bapak tu aneh, nutup hidung kalau ada asap montor tapi masih aja ngerokok.” Ya, bapak hanya tertawa. “Kalau Lia punya rumah besok, di setiap sudut rumah, Lia tempelin area no smoking. Kalau perlu fotonya bapak lagi ngerokok lia silang.” Bapak ketawa sampai terbatuk-batuk. Bapak? Batinku cemas.
***
            Pukul 04:30, selesai sholat subuh untuk hari itu. Tanganku mengambil handuk sekenaku dan seragam yang beberapa hari lalu sudah sempat ku setrika. Hari ketiga aku ujian nasional SMK. Rasa dag dig dug masih senang menggelayuti. Sesudah mandi aku menengok bapak yang ternyata sudah tidak ada di dalam kamar, bermaksud untuk mengantarkan teh panas dan tempe goreng. Teh panas dan tempe goreng akhirnya ku taruh di atas meja belajar. Aku menjeru keluar. Benar batinku, bapak jelas-jelas terlihat sedang mengisap asap-asap itu lagi. “Bapak! Ngeyel, selama UN berlangsung rumah harus steril, sang putri tidak boleh mencium asap-asap berbahaya.” Aku berbicara seolah-olah sedang drama. “Yaudah bapak pindah deh.” Ya sampai sekarang pun aku tetap tidak bisa menyuruh bapak berhenti merokok, mau dikasih peringatan sampai ditunjukin gambar akibat dari sebab yang bapak buat. Tidak berefek.
            “Pak Lia dek-dek an ya.” Sudah pukul enam, saat dimana aku harus berpamitan. Berpamitan karena aku berangkat menempuh UN dan berpamitan karena bapak harus ke Jakarta lagi. “Sini-sini fuhhh!!” Berulang kali di semburnya ubun-ubunku seolah bapak adalah orang sakti. “Udah pak? Pasti ubun-ubun Lia lagi kelelep banjir.” “Hahaha. Yaudah yuk.” “Ayuk apa pak?” “Selfie lah!” Yang benar saja. Sebelum ujian aku dan bapak menjalankan ritual yakni selfie, di umur bapak yang sudah 42 tahun. Bapak masih gemar narsis. Itupun nular ke anak-anaknya. Sekarang, atau 10 hari yang lalu tepatnya. Bapak sudah menginjak 43 tahun. Aku tidak ingin mengucapkan selamat ulangtahun. Karena kenapa? Karena yang membuat aku sedih adalah, ketika aku makin dewasa, ayahku juga semakin tua. :”) seorang Lia untuk bapak. Tidak mau memberi selamat dimana umur semakin tua. Tapi akan selalu memberi doa, supaya ketika  Lia sudah memiliki rumah sendiri, begitu katanya dulu, bapak masih sehat walafiat. Pak 22 Februari 2015 berhenti ngerokok ya :”) Lia sayang bapak. I LOVE YOU DAD, YOUR MY EVERYTHING, MY LIVE, EVERYDAY, SELAMA LIA HIDUP.

1 komentar:

  1. Aisyahh tulisannya aisyah bagus,aku baca dampe senyum2. Bukan cinta yg rumit yg aisyah tulis tp cinta beneran yg paling kita butuhim

    BalasHapus