Doa 22 Februari
“Kamu kenapa nduk?” Ku balikan badan
hingga hanya suara bapak saja yang terdengar. Aku membelakangi lelaki itu,
mataku memandang gerak kendaraan yang lalu lalang, sesekali menengadah keatas,
was-was supaya air mata tidak jadi menetes. “Nduk?” Sekali lagi. Kini tangan
yang sudah keriput dan kalus menyentuh pundak ku, sekujur tubuhku seakan-akan
tersengat listrik ribuan volt melewati urat nadiku dan berdesis di aliran darah
serta menyentuh area sensitif, hati. Aku sesenggukan. Kini bapak sudah
mendapati pipiku basah. Ternyata tingkahlakuku membuat bapak tertawa, sebenarnya
dia mengerti perasaan anaknya. Bapak kandung mana yang tidak mempunyai ikatan
batin dengan anak sendiri. Namun aku pun mengerti sifat bapak, dia tidak ingin suasana
menjadi haru biru. “Bapak..” Aku melirih manja, gelagatku menyuruh bapak
menyudahi tingkah lakunya yang terus mentertawakanku, aku memang terkenal
cengeng, manja, olehnya.
Adzan berkumandang, makanan yang
sudah kubungkus rapi dibukanya perlahan. Ku dengar ucapan syukur dan doa
berbuka puasa lirih keluar dari bibir bapak yang mulai menghitam, sesekali dia
terbatuk-batuk, sering aku menaruh cemas, sering pula aku memberi nasehat
supaya dia berhenti mengisap asap-asap itu. Namun apa daya, berulang kali ku
pergoki diam-diam bapak menikmati tiap batang asap yang dianggapnya nikmat.
“Yang masak siapa? Yang masak pasti mbak Lia?” Bapak menghentikan suapan nasi,
dan mengunyah yang tersisa di dalam mulut. Aku hanya tersenyum mendapat pujian
dari bapak, meski dalam hati berkata yang
benar saja Lia pandai memasak. Memasak
nasi pun masih gosong. Tapi ku nikmati saja tiap pujian dari bapak, aku
tidak memiliki niatan untuk berbohong, aku hanya ingin selalu baik di matanya,
aku hanya ingin dia bangga.
***
Pagi hari yang berbeda, basakara
sudah siap siaga dengan sengatan panasnya. Baru sekitar pukul enam, tapi
aku sudah siap-siap memakai baju merah putih bekas SD yang masih aku
mecing-mecing kan dengan badanku yang terlihat bongsor. Hari itu pertamakali dimana
status ku berubah menjadi kelas satu SMP. Aku di terima di sebuah Mts ternama
di Bantul. Jaraknya tidak terlalu dekat untuk berjalan kaki pagi-pagi sekali.
Aku menggenggam tangan kanan bapak, dia menuntunku untuk jalan melewati
kubangan air yang baru saja disiram orang. “Pak?” dia menoleh kearahku. Aku
memanggil bapak hanya ingin melihat wajahnya yang sudah makin menua, tanpa
bermaksud mengajak bapak bicara. “Hehehe gapapa pak. Makin hari bapak makin
ganteng.” Dengan begitu detak jantung ku kembali normal dan aku tenang. “Pasti
ada maunya muji-muji.” Bapak menyipitkan mata, ekspresi yang selalu sama ketika
aku memuji-mujinya.
Asap kendaraan mengepul, tangan kiri
bapak melingkar meraih hidungku, dia tidak ingin asap dan debu yang terbawa
dari ban kendaraan masuk mengotori paru-paruku. Dan tangan kanan nya pun meraih
hidungnya dan memperlakukan hal serupa. “Bapak tu aneh, nutup hidung kalau ada
asap montor tapi masih aja ngerokok.” Ya, bapak hanya tertawa. “Kalau Lia punya
rumah besok, di setiap sudut rumah, Lia tempelin area no smoking. Kalau perlu
fotonya bapak lagi ngerokok lia silang.” Bapak ketawa sampai terbatuk-batuk. Bapak? Batinku cemas.
***
Pukul 04:30, selesai sholat subuh
untuk hari itu. Tanganku mengambil handuk sekenaku dan seragam yang beberapa
hari lalu sudah sempat ku setrika. Hari ketiga aku ujian nasional SMK. Rasa dag
dig dug masih senang menggelayuti. Sesudah mandi aku menengok bapak yang ternyata sudah
tidak ada di dalam kamar, bermaksud untuk mengantarkan teh panas dan tempe
goreng. Teh panas dan tempe goreng akhirnya ku taruh di atas meja belajar. Aku
menjeru keluar. Benar batinku, bapak jelas-jelas terlihat sedang mengisap
asap-asap itu lagi. “Bapak! Ngeyel, selama UN berlangsung rumah harus steril,
sang putri tidak boleh mencium asap-asap berbahaya.” Aku berbicara seolah-olah
sedang drama. “Yaudah bapak pindah deh.” Ya sampai sekarang pun aku tetap tidak
bisa menyuruh bapak berhenti merokok, mau dikasih peringatan sampai ditunjukin
gambar akibat dari sebab yang bapak buat. Tidak berefek.
“Pak Lia dek-dek an ya.” Sudah pukul
enam, saat dimana aku harus berpamitan. Berpamitan karena aku berangkat
menempuh UN dan berpamitan karena bapak harus ke Jakarta lagi. “Sini-sini
fuhhh!!” Berulang kali di semburnya ubun-ubunku seolah bapak adalah orang
sakti. “Udah pak? Pasti ubun-ubun Lia lagi kelelep banjir.” “Hahaha. Yaudah
yuk.” “Ayuk apa pak?” “Selfie lah!” Yang benar saja. Sebelum ujian aku dan
bapak menjalankan ritual yakni selfie, di umur bapak yang sudah 42 tahun. Bapak
masih gemar narsis. Itupun nular ke anak-anaknya. Sekarang, atau 10 hari yang
lalu tepatnya. Bapak sudah menginjak 43 tahun. Aku tidak ingin mengucapkan
selamat ulangtahun. Karena kenapa? Karena yang membuat aku sedih adalah, ketika
aku makin dewasa, ayahku juga semakin tua. :”) seorang Lia untuk bapak. Tidak
mau memberi selamat dimana umur semakin tua. Tapi akan selalu memberi doa,
supaya ketika Lia sudah memiliki rumah sendiri, begitu katanya dulu, bapak masih sehat
walafiat. Pak 22 Februari 2015 berhenti ngerokok ya :”) Lia sayang bapak. I
LOVE YOU DAD, YOUR MY EVERYTHING, MY LIVE, EVERYDAY, SELAMA LIA HIDUP.
Aisyahh tulisannya aisyah bagus,aku baca dampe senyum2. Bukan cinta yg rumit yg aisyah tulis tp cinta beneran yg paling kita butuhim
BalasHapus